13 Agustus 2013

Kisah Saidjah dan Adinda


Video di atas adalah pelengkap dan alasan saya ingin menceritakan kisah Saidjah dan Adinda. Akhir-akhir ini saya sering nonton video-video The Trees and The Wild di Youtube, nah salah satunya yang di atas itu, video live performance mereka yang menyanyikan lagu yang berjudul Saija di ARTE Festival 2013.
"Saija remuk,
dan dia kan sadar,
yang tak diam dengannya,
hanya waktu."
Nah itu dia lirik lagu dari Saija, singkat (tapi kok videonya sampai 9 menit? Nah itu dia The Trees and The Wild, their music speaks louder than words!), bikin penasaran, sebenarnya siapa Saija ini? Saya googling deh (manusia era sekarang, penasaran mengarah ke google) dan menemukan blog tumblr yang membedah lagu Saija, di sini

Saija yang dimaksud dalam lagunya The Trees and The Wild itu adalah Saidjah, salah satu tokoh yang ada dalam buku Max Haveelar karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Yang sering perhatiin pelajaran IPS pas SD pasti ga asing lagi deh sama nama penulisnya :p

Saya telusuri lagi mengenai kisah Saidjah ini. Dan menemukan banyak referensi. Baiklah, izinkan saya untuk berdongeng secara singkat sesuai dengan referensi yang saya dapatkan. Here I go.

Saidjah adalah anak laki-laki miskin, bekerja sebagai pengembala kerbau milik Ayahnya. Suatu hari, para kolonial Belanda menangkap Ayahnya dan memasukkannya ke penjara karena tidak sanggup membayar pajak, mereka juga mengambil kerbau miliknya. 

Saidjah lalu beranjak dewasa, dia ingin memenuhi wangsit ayahnya yaitu menikahi Adinda. Adinda adalah seorang anak perempuan yang bernasib sama dan merupakan tetangganya. Merasa miskin untuk menikahi Adinda, akhirnya Saidjah memutuskan untuk hijrah ke kota Batavia untuk mencari kerja.

Sebelum Saidjah pergi, dia menemui Adinda, lalu...

Saidjah: "Pikirkanlah. Jika aku kembali, pasti usia kita sudah cukup untuk menikah dan aku akan membeli 2 ekor kerbau."

Adinda : "Tentu, Saidjah, aku akan senang menikah denganmu jika kau kembali nanti. Aku akan memintal dan menenun sarung dan selendang, dan menjadi wanita yang rajin."

Saidjah: "Aku mempercayaimu, Adinda, tapi bagaimana jika nanti kau ternyata menikah dengan orang lain?"

Adinda : "Saidjah, kau sudah tahu bahwa aku tidak akan menikah dengan siapapun kecuali kau. Ayahku sudah berjanji kepada Ayahmu."

Saidjah: "Dan bagaimana denganmu?"

Adinda : "Aku pasti akan menikah denganmu, Kau harus percaya itu."

Saidjah: "Ketika aku kembali, aku akan meneriakimu dari jauh."

Adinda : "Siapa yang bisa mendengarnya jika semua orang menumbuk padi di sawah?"

Saidjah: "Benar juga. Tapi, Adinda, jika seperti itu sebaiknya tunggu aku di dekat kayu Jati, di bawah pohon ketapan, tempat kau memberiku bunga melati."

Adinda : "Tapi, Saidjah, bagaimana aku bisa tahu kapan aku harus ke sana?"

Saidjah: "Hitunglah bulan, aku akan pergi selama 3 kali 12 bulan, tidak termasuk bulan ini. Begini, Adinda, setiap bulan baru, buatlah lubang pada alu (alat penumbuk padi), jika sudah ada 3 kali 12 lubang, maka aku akan berada di bawah pohon ketapan keesokan harinya. Apakah kau berjanji akan berada di sana nanti?"

Adinda : "Ya, Saidjah, aku akan berada di bawah pohon ketapan, dekat kayu jati, ketika kau kembali."

Mendengar itu, Saidjah merobek sorban birunya, yang sangat berharga, dan memberikan sobekan tersebut kepada Adinda sebagai jaminan.

3 kali 12 bulan berlalu, Saidjah memutuskan untuk pulang, dia telah memiliki cukup uang untuk menikahi Adinda dan membeli 2 kerbau. Dia membayangkan Adinda akan berkata, "Selamat datang Saidjah! Aku memikirkanmu di setiap pintalan dan tenunanku, dan tumbukan padi, yang tertoreh 3 kali 12 lubang yang telah kubuat. Di sinilah aku, di bawah pohon ketapan, hari pertama di bulan baru. Selamat datang, Saidjah, aku akan menjadi istrimu." 

Saidjah tiba di desanya. Sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat, Saidjah langsung menuju ke pohon ketapan, menunggu Adinda di sana. Dia sudah sangat tidak sabar untuk bertemu dengan Adinda.

Namun, hingga pagi datang, Adinda belum juga muncul. Perasaan kecewa menjalarinya. Lalu dia memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumah Adinda. Tetapi dia tidak menemukan apa-apa selain rumah Adinda yang telah berubah menjadi abu. Hatinya perih dan dia sangat bingung dengan apa yang terjadi. Kemana Adinda pergi?

Lalu seorang wanita tua memberi tahu Saidjah bahwa Ayah Adinda bersama penduduk yang lain tergabung dalam pasukan pemberontak Belanda di Lampung, mereka membawa anak-anaknya ke sana, termasuk Adinda.

Saidjah tidak pernah berbicara sejak itu, dia melamun tanpa arah, atau mengerluarkan suara tawa yang mengerikan. Saidjah lalu dirawat oleh wanita tua tadi. Di malam hari Saidjah selalu bersenandung lirih, "Aku tidak tahu dimana aku harus mati." Penduduk sekitar lalu mengumpulkan uang sebagai biaya pengobatan untuk Saidjah yang mereka pikir Saidjah sudah gila. Padahal sebenarnya tidak. 

Hari berikutnya, Saidjah bertanya ke wanita tua itu, dimana tempat menyimpan padi di lapangan rumah Adinda. Wanita tua itu sangat senang mendengar Saidjah berbicara, lalu ia membawa Saidjah ke tempat yang dimaksud. Di sana Saidjah menemukan alu yang memiliki banyak lubang, dan menghitungnya, hanya ada 32 lubang yang seharusnya adalah 36.

Saidjah memberikan imbalan yang cukup untuk membeli seekor kerbau kepada si wanita tua karena telah merawatnya. Saidjah pun memutuskan untuk menyusul keluarga Adinda di Lampung. Sesampainya di Lampung, Saidjah bergabung menjadi prajurit pemberontak Belanda, sebenarnya bukan untuk melawan, tetapi hanya untuk mencari Adinda. Hatinya masih perih, dia lebih siap menerima kesedihan daripada kepahitan.

Dia mengunjungi tempat dimana banyak penduduk desa asalnya tinggal. Namun ternyata tempat tersebut baru saja diambil alih oleh pasukan Belanda. Dia lalu menyusuri setiap rumah. Dan akhirnya di salah satu rumah, dia menemukan mayat ayah Adinda dengan tusukan bayonet di dadanya, di sampingnya ada mayat dari adik-adik Adinda, dan mayat Adinda sendiri, telanjang, dan terdapat banyak luka. Termasuk luka di dadanya, yang tertutupi oleh sorban biru pemberian Saidjah.

Dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, Saidjah berlari dan menyerang balik para serdadu Belanda yang masih ada di sana, dan berakhir dengan senjata-senjata para serdadu menghujam dadanya.

End of story.
Such an tragic love story in Dutch-colonialism era. :')
Is this real?
Menurut penulisnya, ya kisah ini nyata. Terjadi antara tahun 1845-1850 di Pulau Jawa dan Sumatera.

Kalo ada yang mau tau versi lengkapnya, The story of Saidjah and Adinda (English full version).

1 komentar:

  1. Wah saya merinding loh baca tulisan ini sambil dengerin lagu Saija hasil rekaman video saya kemarin di Tabik!#12..

    Sebenarnya saya nggak begitu suka sama lagu2 barunya TTATW yang cenderung ke ambient, tapi pas baca tulisan ini saya jadi berubah pikiran dan ngerasa kalau mereka tetap filosofis seperti dulu..

    dan saya jadi penasaran banget kepingin baca Max Havelaar secepatnya :)

    BalasHapus

leave comment